Para penggerak jejaring lintas iman itu, menyambut hangat para jamaah sholat Id, berbagi senyum, dan membagikan koran atau terpal untuk alas sholat Idul Fitri.
Kota Batu, Jejakjurnalis.com, 10 April 2024, dalam suasana cuaca yang sangat bersahabat, Kota Batu menorehkan sejarah, sebuah “milestone”. Untuk pertama kalinya, jejaring komunitas lintas iman yang dirajut GUSDURian Batu bersatu-padu, berkolaborasi melakukan pengamanan terpadu Sholat Idul Fitri 1445 H sekaligus silaturahmi lebaran Idul Fitri dengan komunitas muslim.
Dewan Paroki Gembala Baik, para Frater dari Biara Karmel dan SVD, Para Suster dari beberapa Biara, Orang Muda Katolik (OMK), Pemuda Katolik, anak-anak muda Persatuan Gereja Indonesia Setempat (PGIS), Badan Kerja Sama Gerejawi (BKSG), Parisada Hindu,, Dharma Indonesia (PHDI), Komunitas Buddha Kota Batu, dan Majelis Luhur Kerohanian Indonesia (MLKI), serta pendeta dan umat lintas iman; semuanya bersatu-padu, menanggalkan label perbedaan untuk bersama-sama menjaga kelancaran sholat Idul Fitri 1445 H di Kota Batu dan sekaligus bersilaturahmi dengan komunitas muslim.
Tiga titik yang menjadi locus pengamanan terpadu, yakni Masjid Agung An Nuur Kota Batu, Lapangan Parkir Jatim Park 1, dan Lapangan Polres Kota Batu. Para penggerak jejaring lintas iman itu, menyambut hangat para jamaah sholat Id, berbagi senyum, dan membagikan koran atau terpal untuk alas sholat Idul Fitri.
Di luar tiga titik itu, ada satu titik yang memang sudah mentradisikan untuk menyambut Idul Fitri dengan toleransi dan kebersamaan lintas iman, yaitu di Masjid Baitul Muttaqin, RW05, Desa Mojorejo, Ngandat. Komunitas Kristen, Katolik, dan Buddha bersama-sama mengawal dan menjaga kelancaran sholat Idul Fitri, yang kemudian dilanjut dengan saling beranjangsana.
Jejaring lintas iman yang dirajut GUSDURian Batu memberi pesan bahwa Idul Fitri bukan hanya berisi ritus ibadah milik umat Islam, tetapi juga terkandung di dalamnya ruang untuk membangun dialog kebudayaan, terutama dialog lintas-iman (interfaith dialogue). Dalam bahasa sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, Idul Fitri bisa dikapitalisasi menjadi modal budaya dan modal sosial untuk mempererat kohesi sosial.
Dengan cara itu, perbedaan agama dan keyakinan tidak menjadi titik-tengkar, tetapi bermetamorfosis menjadi titik-temu. Dialog kebudayaan menjadi ruang untuk saling memahami satu sama lain, saling tenggang rasa dengan perbedaan yang ada, dan mencari titik-titik temu persamaan untuk saling berkolaborasi dan bersinergi. Di sinilah esensi toleransi lintas iman beroperasi. Bukan mencampur-adukkan agama tetapi membuka ruang dialog untuk saling menyapa. GUSDURian Batu hadir itu, menjadi “bridging space”, untuk membuka ruang dialog lintas iman.
Ekosistem sosial yang ramah terhadap perbedaan agama dan iman adalah episentrum lahirnya perdamaian hakiki, perdamaian dengan keadilan sosial. Seorang Imam Katolik, Hans Kung, dalam etika global, mempunyai sebuah tesis : Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama dan tidak ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama”.
Untuk konteks Kota Batu, Idul Fitri 1 Syawal 1445 H memberi pesan bahwa Kota Batu adalah milik kita, Kota Batu adalah rumah bersama. Bukan hanya milik satu golongan tertentu, bukan hanya milik mereka yang mayoritas saja. Kota Batu adalah ruang hidup yang memberi penegasan tidak ada lagi diksi mayoritas atau minoritas, yang ada adalah kita sama-sama manusia. Mayoritas-isme yang mengabaikan kehadiran komunitas minoritas hanya berujung pada penindasan dan ketidak-adilan.
Kota Batu, sejak dari awal mempunyai desain kebudayaan sebagai Kota yang plural. Di Ngandat ada Padepokan Dhammadipa Asrama, sebuah vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi. Salah satu yang terbesar di Indonesia. Kota Batu juga punya beberapa Seminari dan Biara yang menjadi pusat pendidikan para calon Imam atau Romo. Kota Batu juga punya Sekolah Alkitab (SAB) dan Institut Injil Indonesia (I3), pusat pendidikan calon pendeta dan penggembala Tuhan. Jejaring penghayat di Kota Batu juga sangat beragam, ada 16 paguyuban penghayat yang dihimpun oleh MLKI. Komunitas Hindu, yang terkonsentrasi di Desa Tulungrejo juga mempunyai hak hidup yang sama sebagai warga Batu.
Dan, tentu saja, komunitas muslim sebagai kelompok mayoritas secara jumlah mempunyai tanggung jawab untuk mencipta kenyamanan dan harmoni dengan kelompok minoritas. Umat muslim Kota Batu, layak terus untuk didorong membuka ruang dialog kebudayaan dengan mereka yang non muslim.
Ujung dari semuanya, persaudaraan antar agama-agama akan menjadi titik ungkit untuk menyelesaikan semua persoalan kebudayaan di Kota Batu. Agama hadir tidak hanya di tempat ibadah dan rumah ibadah tetapi juga hadir di ruang sosial dan kebudayaan yang lbersifat praksis, menyentuh hajat hidup orang banyak.
Idul Fitri 1 Syawal 1445 H memberi pesan kuat bahwa Kota Batu adalah rumah bersama, yang menyelesaikan setiap persoalan bersama dengan dialog secara setara dan adil. “Yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda jangan disama-samakan” nasehat Gus Dur.
Minal Aidzin Wal Faidzin
Taqobalallahu Minna wa minkum
Taqobal ya kariim
( Hari)