Kota Batu, Jejakjurnalis.com,- Catatan lapangan Gunung Butak yang ditulis oleh Arga Fatir Rinjani, mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) Malang, menjadi bukti nyata bahwa kesadaran lingkungan bisa tumbuh dari sistem sederhana namun bermakna.
Sebagai seorang yang masuk jurusan Sosiologi, Arga selalu tertarik mengamati bagaimana masyarakat memecahkan masalahnya. Dan di Gunung Buthak, dia menemukan sebuah jawaban.
Dalam penelitian untuk skripsinya yang berjudul “Eksplorasi Nilai Sosial terhadap Gaya Hidup Zero Waste”, Arga menemukan bahwa perubahan perilaku masyarakat pegunungan bisa berawal dari satu kebijakan kecil: membawa turun kembali sampah yang dihasilkan selama pendakian.
Semua menjadi jelas dan hidup ketika kaki saya menapaki trek Gunung Butak yang masih perawan ini. Lebih dari sekadar kebijakan teknis, dirinya melihat interaksi sosial yang tumbuh di antara para pendaki.
Dari Catatan Lapangan, ketika di pos pendakian, setiap orang diwajibkan melaporkan dan membawa kembali semua sampah non-organiknya. Sederhana, tapi dampaknya luar biasa.
Yang Arga amati, nilai sosialnya tidak sekedar pada aturan, tapi pada interaksi yang tercipta. Ia menceritakan momen unik ketika seorang pendaki dengan bangganya menunjukkan isi kantong sampah kepada temannya.
Dimana Arga melihat seorang pendaki yang dengan bangganya ia tunjukkan kantong sampahnya yang hampir penuh kepada rekan-rekannya.
"Lihat, saya menghasilkan lebih sedikit sampah darimu!" candanya.
Ada sebuah kebanggaan baru yang lahir, sebuah prestise yang terkait dengan kesadaran lingkungan. Bukan karena menaklukkan puncak, melainkan karena mampu menaklukkan ego dan kebiasaan buruk terhadap sampah.

Momen paling berkesan adalah saat di puncak, melihat lautan sabana dan monyet-monyet yang berkeliaran tanpa tertarik mendekati tas pendaki. Ini kontras sekali dengan gunung lain.
Sistem zero waste tidak sekedar hanya melindungi tanah dari sampah, tapi juga mengembalikan relasi alami antara manusia dan satwa. Ekosistem yang sehat membuat binatang liar kembali pada habitatnya, sementara manusia belajar menghargai batas.
Baca juga: Pemasangan Rambu di Gunung Panderman Hindari Pendaki Tersesat
"Bagi saya, Gunung Butak bukan lagi sekadar objek penelitian. Ia adalah bukti bahwa dengan sistem yang tepat, kita bisa menciptakan budaya baru yang lebih baik. Dan Sosiologi memberikan saya kacamata untuk memahaminya secara mendalam," ungkapnya menutup catatan.