Polaman Kecamatan Dampit, Identitas Komunal Masyarakat Pemangku Wasiat Tuan Schroff.

  • Bagikan

Foto Tugu brak yang terletak persis ditengah lingkungan Polaman, yang dahulu merupakan bekas tempat timbangan hasil Perkebunan. (Insert) Yan Okfian peneliti dari Pegiat Budaya dan Pengamat Hukum dari Forum Kajian Hukum dan Sosial Untuk Bangsa (FOKHUS-UB) Malang Raya.

Kabupaten Malang.  – Di balik kesan permukiman yang tenang di Lingkungan Polaman, Kelurahan Dampit, tersimpan narasi panjang tentang transformasi sebuah perkebunan kolonial menjadi komunitas mandiri. Cerita itu hidup dalam ingatan kolektif para sesepuh, termasuk dalam hal ini Kartoyo (97 tahun), Prawito (89 tahun), dan Warimun (78 tahun), yang menjadi saksi sebagian kecil peristiwa dan sekaligus penerus legasi seorang tuan tanah bernama Tuan Schroff.

Nama “Polaman” sendiri menyimpan dua lapis makna. Dalam tradisi lisan, nama ini diyakini berasal dari frasa Jawa “Pol e aman” atau “Pol e jaman”, yang berarti tempat yang menyelamatkan pendatang dari mara bahaya. Namun, para tetua juga menyimpan cerita bahwa dahulu kala ada mata air besar yang menjadi “pa-ulam-an” (tempat memelihara ikan), yang istilah ini juga dikenal didalam kaidah bahasa jawa kuno memiliki makna dasar “ulam” yang merujuk pada ikan, dengan menyimak penamaan tempat Polaman dibeberapa daerah lain, dan hal ini juga terkonfirmasi dengan informasi yang dimiliki para tetua lingkungan Polaman yang mengatakan bahwa dimasa muda lalu, diberitahu oleh para orang tuanya bahwasannya di Polaman jaman lampau terdapat mata air yang cukup besar, tapi entah dengan pertimbangan apa, kemudian ditutup oleh pemerintah Kolonial, dengan cara disumpal menggunakan banyak sekali sabut aren.

Beberapa Tokoh Tertua di Polaman yang sampai saat ini masih bisa ditemui (Bpk. Kartoyo, Bpk.Warimun, Bpk.Prawito)

Dari Perkebunan 400 Hektar ke Cikal Bakal Kampung

Sejarah modern Polaman tidak terlepas dari sosok Tuan Schroff, pemilik perkebunan kopi dan karet seluas sekitar 400 hektar pada masa Hindia Belanda. Untuk mengelola lahannya, Schroff merekrut pekerja dari berbagai daerah seperti keluarga dari Kudus, Tulungagung, Ponorogo, Madiun, Mataram, dan lain-lain sampai sisa-sisa keluarga pengikut Pangeran Diponegoro yang datang ke Dampit untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan Tuan Schroff yang kemudian menetap dan menjadi cikal bakal masyarakat Polaman saat ini.

“Seluruh wilayah di lingkungan Polaman dahulu adalah milik Tuan Schroff, lengkap dengan kantor, tempat tinggal buruh, dan sarana penimbangan hasil perkebunan,” tutur seorang sesepuh, merujuk pada struktur tata ruang kampung yang masih terlihat rapi berbentuk persegi panjang hingga kini.

Peta Lingkingan Polaman yang bentuknya persis seimbang persegi Panjang, menunjukkan sejak awal memang dibangun dengan tertata rapi untuk suatu tujuan tertentu (mendukung gasilitasi Perkebunan) 

Bukti fisik itu masih berdiri: sebuah tugu di persimpangan jalan yang menjadi landmark. Dahulu, tugu itu adalah tempat timbangan besar hasil panen.

 

Wasiat Perpisahan dan Syarat Pengabdian

Menjelang kedatangan Jepang, Tuan Schroff yang telah lanjut usia memutuskan untuk kembali ke Belanda. Dalam sebuah pertemuan bersejarah di sekitar tugu timbangan, dia mengumpulkan para pekerjanya.

Dalam pertemuan itu, Tuan Schroff tidak menjual tanahnya. Alih-alih, dia membagikannya kepada para pekerja dengan satu syarat utama: mereka harus menjaga dan merawat pusara makam anak dan istrinya yang dimakamkan di Polaman, yang dikenal warga dengan sebutan makam “Sinyo” (Lascor Holden).

“Tanah tidak perlu dijual atau dibeli. Cukup dibagi secara adil. Syaratnya, rawatlah makam keluarga saya,” demikian kurang lebih wasiat Schroff yang diingat secara turun-temurun.

Wasiat inilah yang menjadi dasar transaksi sosial unik. Kepemilikan berubah dari perkebunan pribadi menjadi aset komunal dengan tanggung jawab kolektif. Sebagian hasil pengolahan lahan warisan hingga hari ini dialokasikan untuk merawat makam keluarga Schroff yang dikeramatkan sebagai punden kampung, serta mengadakan ritual desa seperti pagelaran wayang kulit sebagai wujud syukur.

Transformasi Pasca-Kemerdekaan dan Identitas yang Terjaga

Pasca-kemerdekaan, Polaman mengalami transformasi besar. Struktur sosial yang awalnya berpusat pada hubungan tuan-buruh berubah menjadi komunitas egaliter yang mengelola tanah bersama. Lahan-lahan perkebunan beralih fungsi menjadi permukiman, meski aktivitas bertani tetap menjadi penopang hidup utama.

Yang tidak berubah adalah komitmen menjaga warisan. Yan Okvian, Pegiat Budaya dan Pengamat Hukum dari Forum Kajian Hukum dan Sosial Untuk Bangsa (FOKHUS-UB) Malang Raya, melihat kelestarian ini sebagai perekat identitas.

“Warisan budaya dan memori kolektif tentang narasi ‘Pol e aman’, wasiat Tuan Schroff, ritual desa, hingga makam yang dikeramatkan, berfungsi sebagai perekat identitas komunitas,” ujar Yan. “Ini adalah keunikan yang menjadi tugas masyarakat Polaman untuk menjaganya agar nilai komunal tetap lestari.”

Kini, sebagai salah satu dari lima lingkungan di Kelurahan Dampit, Polaman tetap memegang erat potensi agraria dan sejarahnya. Tugu timbangan, menjaga makam punden, syukuran gelaran wayang kulit dan cerita tentang Tuan Schroff bukan sekadar kenangan, melainkan fondasi hidup yang terus membentuk jati diri masyarakat Polaman dari generasi ke generasi.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!