Pemkot Malang Digugat, Warga Minta Putusan Serta Merta Hentikan Pembongkaran Tembok

  • Bagikan

MALANG – Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Malang membuka jalan tembus dengan membongkar tembok pembatas Perumahan Griya Shanta menuai gugatan hukum. Sebanyak sembilan warga, yang bertindak selaku perwakilan kelompok (class action), resmi mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, dengan nomor perkara 327/Pdt.G/2025/PN Mlg.

Dalam dokumen gugatan yang diterima redaksi, para warga menggugat Walikota Malang, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPR) Kota Malang, serta Satpol PP setempat. Inti persoalannya adalah rencana pembongkaran tembok di sisi utara perumahan yang dilakukan tanpa melibatkan musyawarah dengan warga.

Menurut gugatan, rencana tersebut dinilai cacat prosedur. “Sejak awal, tidak ada sosialisasi yang memadai, termasuk rasionalisasi kenapa menembus tembok perumahan Griya Shanta, sedangkan bilamana mau fair sebenarnya untuk ditarik garis lurus dengan ruas jalan disisi lain, seharusnya bukan di wilayah kami, apalagi permintaan persetujuan. Warga justru mendapat tekanan melalui surat peringatan dari Satpol PP yang memerintahkan pembongkaran,” ujar salah satu warga.

Kekhawatiran warga atas  pembukaan akses jalan tembus adalah karena akan mengancam keamanan dan kenyamanan lingkungan yang selama ini terjaga, termasuk merampas hak warga yang sudah sejak mula dijanjikan hunian Kawasan tertutup. Sehingga yang semula tertutup dan aman akan menjadi ramai oleh kendaraan lalu lalang, termasuk kendaraan berat proyek perumahan baru di belakangnya. 

Tim Kuasa Hukum dari Kantor Advokat ASMOJODIPATI LAWYER’S, yang mendampingi warga, memberikan penjelasan mendalam mengenai dasar gugatan.

Andi Rachmanto, S.H., selaku kuasa hukum, menegaskan bahwa tindakan Pemkot Malang telah menyimpang dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). “Tindakan sepihak Tergugat jelas melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pemerintah justru mengabaikan hak partisipasi warga yang dijamin dalam UU Penataan Ruang,” papar Andi.

Lebih lanjut, Yogi T. Sofiyanto, S.H., menambahkan bahwa gugatan ini juga memuat permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). “Ini adalah langkah strategis. Putusan serta merta memungkinkan hakim memerintahkan penghentian kegiatan pembongkaran untuk sementara waktu, meskipun nantinya pihak Tergugat mengajukan banding. Tujuannya adalah untuk mencegah kerugian yang tidak dapat diperbaiki (irreparable loss) yang akan dialami ratusan warga,”.

Dia merinci, putusan serta merta dapat dijatuhkan dalam perkara seperti ini karena gugatan didasarkan pada adanya pelanggaran hukum yang jelas dan untuk menghindari kerugian yang lebih besar. “Majelis Hakim berwenang mengabulkan ini untuk menjamin keadilan substantif terwujud,” imbuhnya.

Selain meminta pembatalan rencana pembongkaran, warga juga menuntut ganti rugi materil dan immateriil. Tuntutan ini mencakup kerusakan infrastruktur jalan dan tembok, serta gangguan keamanan, ketentraman, dan penurunan nilai lingkungan.

Yang tak kalah penting, warga juga meminta PN Kota Malang menghukum Pemkot Malang untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka melalui media cetak lokal dan nasional serta laman resmi pemkot. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan pemulihan nama baik warga yang mungkin cemar sebab dinilai egois menolak Pembangunan fasilitas umum padahal tidak.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah Kota Malang belum memberikan tanggapan resmi terkait gugatan tersebut. Proses persidangan diperkirakan akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat untuk menuntaskan sengketa yang menyedot perhatian publik ini.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan