Jakarta – Forum Partisipasi Publik untuk Perlindungan Perempuan dan Anak (PUSPA) DKI Jakarta menyampaikan pernyataan sikap mendalam menyusul insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta yang mengguncang dunia pendidikan. Dalam rilis resminya, Sabtu (8/11/2025), forum ini menyoroti faktor tekanan batin dan kemarahan mendalam pada pelaku yang diduga merupakan siswa di sekolah tersebut.
Ketua PUSPA DKI Jakarta, Sri Wulandari, menyatakan peristiwa ini harus menjadi alarm bagi semua pihak tentang krisis komunikasi dan pendampingan terhadap anak-anak.
“Kami menyampaikan duka mendalam atas musibah yang menimpa para siswa, guru, dan keluarga besar SMAN 72. Ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Di balik tindakan destruktif seorang anak, selalu ada rangkaian penyebab yang kompleks, mulai dari keluarga hingga lingkungan sosialnya,” ujar Sri dalam konferensi pers di kantor PUSPA DKI.
Forum ini merinci lima poin sikap yang menjadi seruan bagi semua pemangku kepentingan. Pertama, mereka menekankan pentingnya pengawasan orang tua terhadap perkembangan dan pergaulan anak. Menurut PUSPA, ketiadaan komunikasi, perhatian, dan empati dari orang tua dapat melahirkan rasa keterasingan dan luka batin yang berujung pada tindakan merusak.
“Orang tua tidak boleh abai. Memantau dengan siapa anak bergaul, memahami gejolak emosinya, dan menciptakan ruang dialog yang aman adalah kunci. Kedua, peran partisipasi publik dan lingkungan sosial juga vital. Masyarakat diharapkan memiliki kepedulian untuk mendeteksi dini perubahan perilaku atau tanda-tanda isolasi sosial pada anak di sekitarnya,” papar Sri.
Ketiga, PUSPA DKI menyerukan kewaspadaan tinggi terhadap ajaran dan pengaruh kekerasan, baik yang disebarkan melalui kelompok tertentu maupun konten di media sosial. Mereka mendesak orang tua dan lingkungan untuk mampu mengenali potensi bahaya dari paparan negatif yang dapat mendorong anak pada tindakan teror.
“Keempat, penguatan sistem perlindungan anak di sekolah dan masyarakat menjadi hal mendesak. Sekolah harus memiliki sistem pendampingan psikososial yang memadai, dan guru serta tenaga pendidik perlu dilatih untuk mengenali gejala trauma atau gangguan emosional pada siswa,” tambahnya.
Kelima, PUSPA DKI mendorong pihak kepolisian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan lembaga terkait untuk melakukan penyelidikan secara transparan dan profesional. Mereka menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak anak pelaku dengan menerapkan prinsip keadilan restoratif (restorative justice), mengingat pelaku masih berstatus anak dan memerlukan perlindungan hukum khusus.
“Kami percaya anak pelaku juga adalah korban dari sebuah sistem yang gagal mendeteksi gejolak dalam dirinya. Proses hukum harus tetap berjalan, namun dengan pendekatan yang memulihkan, bukan hanya menghukum,” tegas Sri.
PUSPA DKI menutup pernyataannya dengan keyakinan bahwa tragedi ini harus menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan dalam membangun generasi muda yang sehat secara fisik, mental, dan sosial. Mereka mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi pertumbuhan setiap anak.













